Untuk download FORMULIR BIODATA KELAS 1 silakan menuju website berikut : http://www.ziddu.com/download/23193644/BIODATASISWAKELASI.pdf.html
Selasa, 22 Oktober 2013
Dasar Pendidikan & Pendidikan Dasar
Pendidikan sangat penting dan berharga dalam hidup ini.Itulah sebabnya orang tua kita berani berkorban apa saja demi pendidikan anak-anaknya. Tetapi karena sangat penting itu juga yang mungkin menyebabkan biaya pendidikan di negeri kita teramat tinggi. Karena biaya pendidikan terlalu tinggi menyebabkan banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak mampu untukbersekolah. Jadi pendidikan sembilan tahun digratiskan dari pemerintah untuk masyarakat.Pendidikan dasar terdiri dari dua kata yaitu “pendidikan” dan“dasar”.
Menurut pengertian Yunani pendidikan adalah ilmu menuntun anak.Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara denganeducare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berartipanggulawentah (pengolahan), mengolah, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.Pendidikan Dasar berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Rumusan yang semestinya dibahas adalah bagaimana meletakkan ”dasar pendidikan” karena dasar pendidikan lain dengan pendidikan dasar. Dasar pendidikan adalah meletakkan pondasi yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar sehingga meski sudah selesai sekolah akan tetap belajar.
Selasa, 23 Juli 2013
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas
Pembangunan
merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan
utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses
pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John
C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict
Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a)
memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan
tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan
sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama
merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi
ekonomi.
Berkaitan
dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang
menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan:
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat
bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai
cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut
pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan
merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan
keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses
pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan
formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut
muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi
dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return
yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.
Sejalan
dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan
dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi
yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c)
secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya
warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini,
pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu
bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma
Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia
pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma
pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin
reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang
yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns
melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan
linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung.
Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan
kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti,
kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan
rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk
menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking,
rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma
pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses
produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru,
kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input.
Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan
proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan
paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan
sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial,
bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh
dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang
mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai
dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat
pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan
bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua,
para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of
growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka
pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation,
yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya,
maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem
persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain,
khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu
perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan
ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal
inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai
teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis
kemampuan akan dilatih.
Sesuai
dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi
perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single
track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk
kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan
akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam
struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh
dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun,
pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak
bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat
tulisannya berjudul Education versus Qualifications
menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi,
dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya
kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai
problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan
pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak
mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic).
Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh
harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam
pembangunan.
Penjelasan
paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu
kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.
Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti
bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan
individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi
yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang
diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru
melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia
industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan
jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua,
paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai
penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan
formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang.
Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih
dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya,
tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi
dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine
of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan
tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan
ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok
masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga,
paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan
individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga
kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak
pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering.
Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu
menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di
negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat,
paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran
mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana
pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan
produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential
Society: An Historicaf Sosiology of Education
and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti
tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi
tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan
pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian
yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja
formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga
pendidikan yang lebih canggih.
Source : http://pakguruonline.pendidikan.net/wacana_pdd_frameset.html
Minggu, 21 Juli 2013
Pendidikan Dasar Untuk Semua
Indonesia telah mengalami kemajuan yang sangat besar dalam memastikan
anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar mendapatkan pendidikan –
sekitar 97 persen dari anak-anak berusia 7 sampai 12 tahun di seluruh
negeri dapat bersekolah.
Namun, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia yang seharusnya bersekolah
tidak dapat menikmati pendidikan: 600.000 anak usia sekolah dasar dan
1.9 juta anak usia sekolah menengah pertama (13-15 tahun).
Data statistik tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa terdapat
kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling parah. Hampir
setengah dari anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tidak mampu
melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama – anak-anak yang
berasal dari rumah tangga termiskin memiliki kemungkinan putus sekolah 4
kali lebih besar daripada mereka yang berasal dari rumah tangga
berkecukupan. Hampir 3 persen dari anak-anak usia sekolah dasar di desa
tidak bersekolah, dibandingkan dengan hanya lebih dari 1 persen di
daerah perkotaan.
Dari mereka yang belajar di bangku sekolah dasar, hampir 1 dari 5 anak
tidak dapat melanjutkan ke sekolah menengah pertama, dibandingkan 1
dari 10 anak di daerah perkotaan.
Kemungkinan putus sekolah adalah 20 kali lebih tinggi untuk anak-anak
yang ibunya tidak memiliki pendidikan daripada mereka yang memiliki ibu
dengan pendidikan tinggi. Jika ini terbukti sebagai fenomena yang
terjadi terus-menerus maka akan berdampak besar bagi pertumbuhan jangka
panjang Indonesia, jika kurangnya pendidikan berlanjut dari satu
generasi ke generasi selanjutnya.
Upaya memahami dan menanggapi ketimpangan ini menjadi pusat dari
kegiatan dan program UNICEF dalam bidang pendidikan, yang meliputi:
- Memperkuat pengumpulan data mengenai situasi anak-anak di sekolah, dan di luar sekolah, melalui sistem informasi yang bersumber dari masyarakat.
- Menilai alasan-alasan mengapa banyak anak usia dini tidak berpartisipasi dalam perkembangan awal masa kanak-kanak, yang membatasi keberhasilan mereka dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dasar dan hambatan dalam pendaftaran dan penyelesaian pendidikan sekolah dasar.
- Memperbaiki keterampilan kepala sekolah, pengawas, dan aparat pendidikan untuk mengelola dan menyampaikan pendidikan berkualitas utama yang menjangkau semua anak-anak.
- Melibatkan komunitas dan masyarakat sipil setempat dalam menyampaikan pelayanan pendidikan yang berkualitas lebih baik bagi anak-anak yang terpinggirkan, seperti contoh melalui perbaikan manajemen berbasis sekolah.
Langganan:
Postingan (Atom)